LAE MBILULU
Sampuren Sindates, Lae Mbilulu yang terletak di Pronggil Julu
Kecamatan Tinada Kabupaten Pakpak Bharat, kini menjadi idola baru
sebagai daerah kunjungan wisata di daerah ini. Setiap minggu tingkat
kunjungan cukup ramai khususnya kalangan remaja. Hari-kehari tingkat
kunjungan tersebut meningkat tajam, meskipun jalan menuju lokasi belum
dapat dilalui kenderaan khususnya roda empat. Pengunjung masih
diharuskan berjalan kaki sepanjang dua kilometer. Terlihat memang upaya
pembenahan, meskipun masih terkesan setengah hati. Air terjun yang
tingginya kurang lebih empat puluh meter dan bertingkat. Ada tujuh
tingkatan yang harus dilalui air sebelum jatuh ke tanah. Selain itu, air
mengalir terbelah dua sehingga menambah keindahannya. Sementara dikiri
kanan air terjun terdapat pemandangan yang cukup indah dengan dedaunan
hijau. Percikan air yang menyentuh badan terasa dingin dan menyejukkan.
Air yang relatif masih jernih menambah keindahan pemandangannya.Ketika rintis prana menelusuri, keberadaan sampuren itu, terungkap bahwa dahulu kala tempat itu adalah merupakan salah satu tempat penyembahan (bekkas memele), diantara lokasi yang sama yang ada di sekitar itu. Artinya orang sering menghantarkan makanan ke tempat itu karena dipercaya memiliki penghuni. Penghuni tersebut menurut warga diantaranya adalah sige Grahgah (kepiting) yang lebarnya “ nasa nderu” atau tampi empat persegi. Atau kira-kira lerbarnya kurang lebih 80 cm. Kemudian juga ada “Katimukmuk nasa Kocing” atau ulat bulu sebesar kucing dewasa. Kemudian manuk-manuk Tarak-tarak, (burung tarak-tarak) yang paruhnya menyerupai enggang, dan lebih besar dari jenis burung ini
Menurut Hasan Sinamo “sampuren” sering mengeluarkan bunyi yang terdengar hingga ke kampung warga dan menurut cerita hal itu terjadi manakala air terjun menyentuh punggung kepiting, atau ketika “gurung Sige Grahgah i tutui lae sampuren”. Hal itu sering terdengar pada saat kemarau, atau tidak sedang ada hujan. Barangkali, Sige Grahgah sedang “mukupen” sehingga perlu menyiram diri di air terjun. Dan apabila dengungan suara terdengar, maka warga memastikan akan segera turun hujan atau “naing ari perudan”. Sementara kisah tentang Katimukmuk disukutkan Hasan yang didukung adik kembarnya Udin Sinamo, pernah pada satu ketika kakek moyang atau salah satu mpung Sinamo sedang “merlambuk” mengambil daun ubi jalar ditempat itu dan secara tidak sengaja ulat bulu sebesar kucing itu menempel di labuknya dan ikut terbawa ke kampung. “Tikan takuak manuk i begge mpung Sinamo mo tenggo-tenggo, begu asa i ulakken katimukmuk siterekut i”. Penghuni atau begu sampuren berteriak dan memanggil-manggil. “ Taruhken ke Kocingku, taruhken ke Kocingku….!” ( antarkan kucingku, antarkan kucingku…!) demikian kira-kira bunyi panggilnnya. Mpung Siamo lalu melihat “lambuknya” dan terlihatlah olehnya ulat bulu sebesar seekor kucing. Panggilan itu lalu mengusiknya dan diapun segera mengembalikan ulat bulu ke sampuren.
Sementara itu, Manuk-manuk tarak-tarak tidak diceritakan apa kisah yang membuktikan cerita mereka. Tetapi menurut penuturan keduanya suaranya sangat khas. “ketekuk, ..ketekuk.. kak… kak… kak..” katanya mencoba menirukan.Jenis burung itu kini tidak lagi berada disana, dan menurut Udin Sinamo kepergiannya pada masa masuknya agama kristen ke daerah itu. “Bagendari oda lot nenge i sampuren dekket i kuta en”, ceritanya kepada rintis prana. Dan dia memastikan besarnaya lebih dari burung enggang. Dia meyakini bahwa “Manuk-manuk” ini pindah mi daerah Karo, sebab dia pernah ke Liang Pangi dan i Lae Bahbah, dan melihat jenis burung yang sama ada disana. Warga setempat mengakui bahwa jenis burung itu keberadaannya tergolong baru, artinya hampir bersamaan dengan kepergiannya dari daerah pronggil. “Kukuso kami kalak Karo sinikuta i bahwa manuk-manuk en oda ndekkah deng lot i si”, tegasnya meyakinkan.
Dahulu menurut “sikembar” ini, setiap kali ada pengunjung luar kuta ke sampuren dipastikan akan turun hujan. Mereka sendiri tidak dapat memastikan apakah hal itu sebagai pertanda larangan atau bukan. Meskipun mereka menduga itu sebagai larangan. “Asal roh misi jelma, kennah roh udan nderras merdengan singgar”, tegasnya. Tetapi menurut beberapa orangtua, sebagaimana diakui Togatorop Sinamo sejak dahulu kala meskipun diduga berpenghuni, warg tidak pernah mendapat gangguan apa-apa. Artinya dia tidak “mengago” atau menggangu dan merugikan. Meski demikian, sebagaimana diceritakan diatas, warga sering mengahantarkan makanan ke lokasi yang dianggap sebagai “peleen”. Ditengah sampuren ini dulu juga terdapat sebatang kayu yang dalam masyarakat Pakpak dikenal sebagai kayu “Ntonu” atau sejenis kayu Serpo. Kayu ini hanyut terbawa air pada saat banjir besar melanda daerah ini pada tahun 2000. Selain itu diatas batu, sekitar pertengahan air terjun terdapat gua. Gua itu hingga kini dikenal dengan “gua sampuren”. Lobangya cukup besar meskipun jika ingin masuk kedalam gua ini orang harus menunduk tetapi di dalam gua diameternya lebih besar, orang dewasa bisa berdiri.. Gua itu cenderung gelap sehingga tidak ada warga yang bisa mengetahui isi didalamnya.
Warga sekitar sangat mendukung upaya pemerintah untuk menata lokasi air terjun ini, dan menjadikannya kawasan wisata. Tetapi mereka meminta agar tidak merobah namanya, sebab seringkali dalam penulisan disebut menjadi Sampuren Lae Simbilulu. Padahal aslinya adalah Sampuren Sindates Lae Mbilulu.Dan cerita ini menurut mereka bukanlah dimaksudkan untuk menakut-nakuti, tetapi hanya menggambarkan bahwa dilokasi itu dahulu ada misterinya. Sebagaimana dituturkan, tidak pernah ada peristiwa yang menakutkan apalagi mencelakakan.
Pakpaktoday.com
0 comments:
Post a Comment